Kota Kinabalu, Sabah, menurut saya adalah contoh tata kota yang dijaga dengan baik. Catatan pertama merujuk ke kota tua yang tetap menjadi pusat, dengan perkembangan mengikuti model kota tua. Bayangkan, di Jawa, hampir semua kota tua dibiarkan terbengkalai.
Di 'kampung besar bernama Jakarta', pembangunan mengikuti 'kemana kerbau melangkah'. Dimana kerbau lewat, disitu diresmikan sebagai jalan. Maka, jalanan cenderung berkelok-kelok tidak manusiawi, karena memang kerbauwi. Dan karena manusia tidak tahan lapar seperti kerbau atau karena kerbau biasa makan disepanjang jalan, penduduk di jalur kerbau membuat warung untuk manusia. Begitu seterusnya sehingga disepanjang jalan besar selalu tersedia pusat bisnis: warung rokok, warung tenda, cafe, restoran, toko kelontong, bengkel, pasar burung, sekolahan, bank, dst semua berderat-deret. Beda sekali dengan tata kota jaman kerajaan yang pusat kotanya selalu didesain dengan ruang terbuka: alun-alun di tengah dengan kantor pemerintah, masjid, pusat kegiatan masyarakat non bisnis (gedung olah raga, museum, dll). Maka, ketika kota lama tidak kerbau-wi, ia pun ditelantarkan. Sejarah hilang, kampung besar muncul merujuk banyaknya kerbau yang lewat dan memunculkan kekumuhan karena kota yang terdiri dari perumahan, pusat keramaian dan jalur air jadi sulit ditata.
Dari sudut pandang geografi, KK mempunyai dataran kipas aluvial terbatas. Ini tipikal kota-kota yang menghadap samudera. Terlepas jumlah penduduknya yang hanya 300 ribuan ('propinsi' Sabah berpenduduk 3 jutaan) bukit-bukitnya masih terjaga. Mirip -meski tidak lebih baik- rancangan kota Semarang dan Malang awal 1900-an yang didesain kampiun tata kota Meneer Belanda yang lebih merasa pribumi. Orang kaya boleh tinggal di Candi (perbukitan), tapi jalan dan luas lahan diatur agar kehijauannya terjaga. Jauh dari pola pengembangan kerbauwan dan kerbauwati.
Dalam skala lebih detil pun penataan bangunan dan irigasinya masih memunculkan buffer antar kawasan utilitas (bangunan/privat dan umum/jalan). Mungkin sanjungan ini berlebihan, karena di daerah Sembulan masih banyak rumah tradisional yang 'terbang diatas rawa'. Tapi lihat lagi, jalanannya yang dari papan itu masih mewarisi kerapian manusia.
Jul 29, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment