May 21, 2009

Riset, Opensource dan BPPT v2

Urusan TI tidak berhenti disitu. Kalau riset itu bisa dimodelkan dulu di awal dan digunakan untuk assessment di tengah, maka riset/eksperimentasi akan jadi lebih sederhana dan murah.

Ambil contoh petani yang melakukan pemupukan dengan 1, 2 dan 3 kg pupuk kotoran kambing murni. Di perlakuan 1 kg hasilnya berbeda nyata, di 2 kg tidak nyata, di 3 kg justru turun. Secara tradisional, maka dibutuhkan spread 1-3 dengan pendetilan per 0.5 kg, misalnya. Lalu hasilnya masih menunggu waktu. Kalau dengan data modeling, mungkin riset berikutnya hanya perlu untuk pemupukan 0-1kg dengan perioda 0.1 atau 0.25 kg, sehingga hasilnya lebih spesifik.

Itu belum berhitung kalau modelingnya sampai ke behaviour tanah, mikroklimat dan tanaman. Kalau ini bisa dilakukan terlebih dahulu, mungkin riset dengan pemupukan 1-3kg tidak dibutuhkan. Jadi investasinya (waktu, dana dan SDM) bisa langsung menuju ke perlakuan 0-1.1 kg dengan perioda 0.1 kg.

Pekerjaan TI seperti itu, tidak mungkin dikuasai oleh ahli tanaman atau programmer secara mandiri. Perlu komunikasi antara 2 pihak. Permisalannya seperti pemilik rumah dan arsitek atau tukang batu, bergantung pada skala proyek/capital yang tersedia. Disini ada gap komunikasi yang lebar karena masing2 pihak mempunyai pola pikir sendiri dan kemampuan yang terbatas.

Ahli persenyawaan tidak bisa berpikir ala bahasa pemrograman, dan programmernya juga tidak bisa berpikir bagaimana sintesa atau desintesa senyawa. Disamping itu, programmer masih mempunyai keterbatasan: apakah dia akan menggunakan C, java atau python. Keterbatasan dari kedua ahli itu yang akan menentukan kecepatan dan ketepatan (data) modeling yang dibutuhkan untuk perancangan spread riset dan assessment sebelum riset berikutnya.

Nah, kalau programmer mau menggunakan open source, maka dia bisa menggunakan alur logika program yang sudah tersedia. Dari yang sudah ada ini, dia berkomunikasi dengan ahli persenyawaan: apakah logikanya begini? Maka pekerjaan berikutnya bisa memodifikasi alur yang sudah ada, atau membangun yang baru, tapi dengan alur yang lebih baik dan lebih jelas strukturnya. Dengan demikian, ada banyak capital yang bisa diefisiensikan.

Lebih dari itu, dari pengalaman di banyak aplikasi OSS, setelah proyek tidak didanai (pemerintah), kodenya bisa diserahkan ke komunitas, sehingga pengembangannya masih berlanjut.

Jadi, mengapa harus anti OSS? Salah satu jawabannya pasti karena 'mencuri itu lebih menantang daripada bergotong royong'. Wah apa pula ini? Pikiren dewe. Uwis kedawan leh nulis! Arep kerja sik.

No comments:

Post a Comment