Jan 22, 2012

A privilege from the nature: rain


Suatu hari, orang kampung Wismamas main bola di Puncak. Tiba-tiba turun hujan deras. Tanpa komando, maka bapak-bapak yang sudah tidak laku lagi itu membuka bajunya dan melajutkan main bola dibawah hujan yang lebih dingin dari biasanya. Selesai? belum. Habis main bola, badan yang kotor itu nyemplung di kolan renang yang bahkan lebih dingin lagi dan melanjutkan dengan polo air. Bagi orang yang lemak dibawah kulitnya tipis, tidak berapa lama ia mentas dan pergi ke kamar mandi, membasuh diri dengan air hangat, ganti baju dan make jaket. Dingin itu tidak sanggup membunuh orang Wismamas. Ia hanya memberi pengalaman ekstrim yang diperlukan oleh jiwa untuk keluar dari rutinitas ...

Di Amsterdam, negeri yang jumlah sepedanya lebih banyak dibanding manusianya, tidak pernah ada hujan. Loh? Iya, itu menurut determinasi orang Indonesia pada umumnya. Se-storm-storm-nya di Amsterdam, diameter titik airnya masih lebih kecil bahkan dibanding gerimis di Wismamas yang ada di zona 2 (kaki gunung, atau puncak dataran rendah). Sekedar nostalgia dulu, ya. Kalau di Wismamas ada gerimis yang super kecil dengan angin sepoi-sepoi di musim hujan yang dingin, saya selalu membayangkan: ini morning breeze yang selalu dirindukan. Balik lagi, bukan berarti orang Amsterdam tidak mengenal storm. Ketika saya mendarat di Amsterdam, sambil ngurus rumah di DUWO, diluar ada storm: yaitu gerimis disertai angin. Cuman segitu? Ya, cuman segitu. Di hari lain ketika mangkat kantoor, gerimis yang lebih kecil lagi datang. Maka orang-orang 'lari meninggalkan sepedanya' dan pindah ke trem. Tiba-tiba saja parkiran dan trem penuh sesak oleh sepeda dan manusia.

Menurut ramalan cuaca, suhu udara waktu itu sekitar 6 derajat. Dengan angin sepoi-sepoi Indonesia campur es dikit-dikit, maka tiap kebocoran jaket melalui leher atau pergelangan tangan jadi siksaan untuk setiap orang. Maka serugi-ruginya pemerintah Belanda (bersama perusahaan jasa transportasi) karena semua orang naik sepeda, ia harus tetap ada. Dan ini adalah salah satu privilege from the the nature.

Privilege? Bukankah itu sebuah bencana karena bisa menimbulkan frozbite, misalnya? Well, bencana adalah kejadian alam yang tiba-tiba dan berpotensi menimbulkan risiko seperti fozbite atau kematian. Hujan angin yang merubuhkan atap rumah (thok) atau merungkatkan/mematahkan pohon di pinggir jalan atau membalikkan mobil kecil yang tidak terlalu streamline seperti di awal-awal hari bulan Januari di Noord Holland adalah bencana. Tapi gerimis es di tengah musim dingin adalah peristiwa biasa yang harus diatasi.

Ia jadi privilege, karena dengan itu manusia Belanda dan sub tropis atas pada umumnya membuat perencanaan yang matang untuk mengantisipasi 'kejadian biasa' yang sebenarnya kalau diatasi dengan mentalitas tropis akan menimbulkan kematian. Maka, kondisi yang seharusnya mematikan itu mendorong komunitas untuk melakukan perencanaan terhdap sistem transportasi. Dan itu hanya salah satunya. Salah duanya, rumah dengan thermal insulation yang baik dan (harus, lagi-lagi begitu) dengan standar yang dipatuhi pula. Sementara, rumah tropis cukup dengan gedhek yang kalau kena angin, mungkin itu satu-satunya potensi bencana di Wismamas, tinggal ditegakkan lagi. Karena semuanya tidak buru-buru pergi ke kantoor, maka ditegakkannya dengan gotong royong (privilege untuk orang Wismamas). Kalau malamnya kedinginan, habis subuh udaranya sudah hangat lagi.

Begitulah Allah menurunkan cobaan, agar manusia membuat antisipasi.

Wallahu a'lam.

1 comment: